Monday, October 19, 2009

Kemacetan di Jakarta dan Sekitarnya

Sering kali saya dengar kalimat-kalimat seperti ini : “Macet mah biasa di sini, depannya pasar” atau “Bukan Jakarta kalo ga macet”. Itu membuat saya berpikir, tidak bisakah kita berbuat sesuatu agar reputasi “macet” kita berubah. Lalu semenjak itu setiap dalam perjalanan saya melalukan analisa terhadap apa yang kira-kira sering membuat macet di jalanan.

1. Angkot dan Bus Patas (A.K.A. Transportasi umum kecuali Busway dan Kereta)

Ya, setiap terjebak macet, ayah saya selalu berkata sambil marah: “Di depan pasti ada angkot ato bus ngetem “, memang angkot dan bus kota merupakan suatu tranportasi umum yang mayoritas warga Indonesia sering gunakan tapi mengapa mereka tak bisa mengikuti aturan lalu lintas? Sering kali mereka menepi mendadak, ngetem di tempat yang tidak seharusnya dan terkadang dalam waktu yang lama.


"Sekedar ilustrasi"

Mungkin beberapa solusinya adalah memberikan jalur khusus untuk transportasi umum dan pribadi dimana transportasi umum tidak boleh ke jalur pribadi dan sebaliknya. Tetapi dengan lebar jalanan tidak begitu besar, metode ini tidak memungkinkan di kebanyakan daerah.

2. Pasar

Setiap dalam perjalanan kita, sebagai instinct natural pengendara kendaraan, pasti akan menghindari pasar karena kita tahu pasti di pasar itu macet, macet parah, ato tidak bergerak sama sekali. Pasar memang merupakan fasilitas yang sangat menguntungkan dan mungkin merupakan budaya Indonesia, tetapi apakah itu tidak bisa dilaksanakan secara tertib? Memang sering kali dilakukan penertiban pasar dimana penjual yang berada di pinggir jalan diusir secara paksa (kasihan juga kalo yang jualan orang lansia), tetapi setelah beberapa minggu dibiarkan pasti mereka kembali berjualan di pinggir jalan. Solusinya mungkin dengan memperluas besar pasar sehingga banyak-eh-...tidak, kalau semakin diperluas kemungkinan jumlah pedagang bertambah dan tetap saja tidak ada tempat lain selain di pinggir jalan.

3. Sebagian Motor dan Mobil Pribadi

Setiap masuk jalan tol selalu ada perasaan berbeda, perasaan lebih tenang, mungkin karena tidak ada motor. Memang tidak semua pengendara motor tidak beraturan, tetapi kebanyakan pengendara motor lebih “suka-suka gw” di jalanan. Beberapa hal yang sering dilakukan adalah: kecepatan besar (non-stop loh, terobos terus), menerobos lampu merah, mengambil jalur yang berlawanan (terkadang meskipun ada kendaraan lain), menyelip dari tepi batas jalan, berhenti d jalur kiri di lampu merah padahal ingin berbelok ke kanan (menghalangi mobil yang ingin lurus), dan lain-lain.

Tak hanya motor, terkadang ada pengendara mobil yang sampai membuat ayah saya berkata: “Tuh orang nyetir kayak supir angkot, grrr...” (Sorry dad, kayaknya jadi korban artikel ini, hehehehe), memang meskipun tak sering, beberapa pengendara mobil terkadang “suka-suka gw” juga di jalanan dan terkadang dengan senyum di wajahnya. Ya memang beberapa (kebanyakan) jalanan tidak menunjukkan batas kecepatan tetapi seharusnya wajar, bila di jalanan kecil yang hanya berukuran 1 jalur seharusnya 20-40 km/h sudah cukup, 2 jalur seharusnya 20-60 km/h, dan 3 jalur seharusnya 40-70 km/h, dan untuk di atas 70 km/h lebih baik dilakukan di dalam tol.

Lebih parah lagi adalah kendaraan yang lambat mengambil jalur kanan yang menurut aturan tol: Jalur Kanan Untuk Kendaraan Lebih Cepat, tak hanya mengganggu tata tertib di jalan, ini juga membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Oh, sebenarnya semua di atas membahayakan diri sendiri dan orang lain, ayah saya selalu berkata pada saya (meskipun seharusnya pada orang-orang seperti di atas): “Kalo jalan kayak gitu tuh sih ga napa kalo mati sendiri, nah kalo ampe orang lain kena gimana??”. Solusinya sebenarnya mudah: 1) Jumlah polisi di jalan harus diperbanyak dan disebarluaskan. 2) Untuk membuat SIM setidaknya harus lulus sekolah menyetir (harus ada sekolah bermotor juga kali) jadi meskipun SIMnya nembak (seperti kebanyakan kita-kita), setidaknya kita mengetahui apa yang harus dilakukan dalam jalan.

Kesimpulan

Memang masih banyak lagi solusi eksternal yang dapat kita lakukan, tetapi yang paling penting adalah solusi internal, yaitu kesadaran diri sendiri, seharusnya kita sadar akan apa yang kita lakukan dan pengaruhnya pada orang-orang sekitar. Pengendara juga harus mendahulukan kepentingan bersama melebihi kepentingan pribadinya. Pemerintah juga seharusnya memperbaiki jalanan yang rusak-rusak dan fasilitas lalu lintas yang tidak memadai (lampu merah yang rusak, dan kurangnya tanda-tanda jalan). Sekian dari saya, mohon maaf bila ada salah kata atau kata yang minyinggung.